FmD4FRX3FmXvDZXvGZT3FRFgNBP1w326w3z1NBMhNV5=

Iklan

Your Ads Here
items

Buya Husein : Kebodohan Sesungguhnya bukan Mereka yang Tidak Bisa Membaca dan Menulis, Tapi yang Tidak Memahami Hak Orang Lain

K.H Husein Muhammad ketika menjadi pembicara bedah buku Fiqh Perempuan karyanya di Auditorium IBN Tegal pada Sabtu, (19/3) siang. 


Tegal– Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Tanpa Titik (Tantik) Institut Bakti Negara (IBN) Tegal menggelar launching majalah edisi ke-2 dan bedah buku Fiqh Perempuan karya K.H Husein Muhammad dengan tema "Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung Usai" pada Sabtu, (19/3) di Auditorium IBN Tegal. 

Menurut Pimpinan Umum (PU) LPM Tantik, Luthful Hakim, tema yang diangkat pada acara tersebut datang dari kegelisahan terhadap realita yang berkembang mengenai topik kekerasan seksual yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan.

“Karena kegelisahan kami dengan realita yang ada, bahkan ada hastag Indonesia gawat darurat kekerasan seksual," kata Luthful dalam sambutannya. 

Acara tersebut turut dihadiri oleh K.H Husein Muhamad atau yang akrab disapa Buya Husein untuk mengisi bedah buku Fiqh Perempuan. Buya Husein mengatakan jika isi dari buku Fiqh Perempuan ini tidak jauh dari permasalahan gender. Dirinya mengatakan bahwa saling memahami hak orang lain merupakan kunci utama dalam artian gender.

“Kebodohan sesungguhnya bukan mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tapi mereka yang tidak memahami hak orang lain, suka permusuhan dan perang," ungkapnya ketika menjadi pembicara dalam agenda tersebut. 

Buya Husein menyampaikan bahwa sebuah pengetahuan tidak boleh dibatasi oleh siapapun, semua memiliki hak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Meski begitu, menurutnya setiap dari kita harus mempunyai basis pengetahuan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

“Jangan membatasi pengetahuan, Allah memberikan kepada siapapun yg diberikan hikmah. Dalam buku ini adalah kita harus mempunyai basis tentang apakah laki-laki dan perempuan itu sama atau beda? Jawabannya tentu ada yang berbeda dan ada yang sama. Misalnya tubuh laki-laki dan perempuan, itu berbeda. Itulah yang telah diciptakan oleh Tuhan," jelasnya.

Lebih lanjut Buya Husein menyampaikan perdebatan soal peran wanita sebagai imam shalatnya laki-laki. Menurutnya, mayoritas ulama tidak memperkenankan hal tersebut. 

“Jangan sekali-kali perempuan itu mengimami laki-laki. Imam nawawi mengatakan bahwa mayoritas besar ulama tidak membolehkan perempuan menjadi imam shalatnya laki-laki. Jika imamnya wanita akan terasa aneh karena auratnya akan dilihat oleh laki-laki baik saat rukuk atupun sujud," terangnya.

Selain itu jika melihat pada Al-Quran sejak abad ke-7 laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan yang dijadikan sebagai pendidik dan pengayom. Hanya ada perbedaan dalam feminim dan maskulinitas.

“Al-Quran dalam abad ke-7 laki-laki adalah pemimpin dalam perempuan yang dijadikan sebagai pendidik dan pengayom. Kalau begitu laki-laki dijadikan sebagai subjek dan perempuan dijadikan sebagai objek. Tetapi hal tersebut tidak masalah karena hanya menajadi maskulinitas yaitu sifat berkat, cerdas dan tegas. Lembut dan lemah. Laki-laki maskulinitas dan perempuan feminim”, lanjutnya. 

Pada akhir penjelasannya, Buya Husein mengingatkan agar peserta bedah buku tidak membiarkan hari-hari tanpa membaca, menulis, memberikan pengetahuan dan cinta.

“Jangan biarkan hari-harimu pergi tanpa membaca, menulis, memberi pengetahuan dan menebarkan cinta," pungkasnya. 

Acara launching majalah edisi ke-2 dan bedah buku tersebut berlangsung meriah dan mendapat banyak antusias, tidak hanya dari kalangan mahasiswa tapi juga dari kalangan masyarakat umum. Salah seorang peserta, Muhammad Hasan, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) NU Tegal mengatakan bahwa setelah mengikuti launching majalah dan bedah buku Fiqh Perempuan karya Buya Husein telah memberikan inspirasi serta wawasan akan batasan-batasan masalah fiqih dan muamalah lainya.

“Setelah saya mengikuti launching majalah edisi II ini sangat menginspirasi banget. Mendapatkan pengetahuan luas tentang batasan-batasan masalah fiqih dan juga muamalah dan lainnya," katanya. 

Sedangkan dalam perspektifnya tentang adanya isu gender, ia mengatakan bahwa masalah gender tidak terpaku terhadap kata tapi pada sifat.
 
“Kalau menurut saya terhadap masalah gender berarti tidak harus berpaku terhadap kata akan tetapi berpaku pada sifat. Kalau kita memang jiwanya kuat berarti kita arojh, bukan an-nisa tapi kalau Arojul tidak bisa memilih berarti dia itu adalah al-kitab," ungkapnya. 

Sementara itu, hal senada juga disampaikan oleh peserta lainnya, Mela Saffaanatul. Ia mengaku bangga telah mengikuti acara ini. Ia mengatakan banyak mendapat tambahan wawasan dan juga ada ilmu pengetahuan tentang perempuan. 

“Saya sih merasa bangga banget bisa ikut acara disini karena mendapatkan wawasan dan juga ada ilmu tentang perempuan yang mana dari Abuya sendiri menyampaikan secara jelas dan dapat dipelajari secara logika dan makna gituh,” jelasnya.

Mela menyikapi masalah gender dengan meyakini adanya perspektif yang berbeda walaupun tetap wanita masih mengalami diskriminasi.

“Untuk masalah gender sendiri saya meenyikapinya memang ada perspektif yang berbeda. Terkadang perempuan masih menjadi diskriminasi tetapi dari saya sendiri menginginkan ada daya juang bagi para perempuan indonesia terutama untuk bisa lebih berdaya saing,” ungkap Mela. 
Selain itu, menurutnya masih ada yang beranggapan jika perempuan hanya bisa didapur saja.
“Era modern harus bisa lebih unggul dan sejajar dengan laki-laki,” pungkasnya. 

Penulis : Syifa Fadilah, Amira Nur Asyaroh
Editor : Satria S. Pamungkas

0/Post a Comment/Comments

73745675015091643

Recent

Your Ads Here